Parkinson merupakan gangguan neurodegeneratif progresif yang mempengaruhi gerakan, keseimbangan, dan fungsi motorik. Seiring perkembangan ilmu kedokteran, berbagai pilihan terapi telah tersedia, baik berupa obat-obatan maupun intervensi non-obat. Dua pendekatan yang paling menonjol adalah penggunaan levodopa dan terapi Deep Brain Stimulation (DBS).
Manfaat Pengobatan Parkinson dan Alternatifnya
Salah satu pengobatan utama gangguan Parkinson adalah penggunaan levodopa (L-DOPA), yang hingga kini dianggap sebagai terapi paling efektif untuk mengatasi gejala motorik. Levodopa bekerja dengan menggantikan dopamin yang hilang di otak, sehingga dapat mengurangi tremor, kekakuan otot, dan bradikinesia atau gerakan lambat. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa levodopa mampu memberikan perbaikan signifikan terhadap kualitas hidup survivor Parkinson, terutama pada tahap awal hingga menengah penyakit [1]. Selain itu, survivor Parkinson yang menggunakan levodopa biasanya merasakan peningkatan dalam kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari, seperti berjalan, berpakaian, maupun menulis, yang pada akhirnya membantu mereka mempertahankan kemandirian lebih lama.
Selain obat-obatan, terapi Deep Brain Stimulation (DBS) juga menjadi salah satu pilihan non-farmakologis yang terbukti efektif. DBS dilakukan dengan menanamkan elektroda pada area tertentu di otak untuk menstimulasi aktivitas saraf. Terapi ini terutama bermanfaat bagi survivor Parkinson yang tidak lagi mendapatkan respons optimal dari obat-obatan atau mengalami fenomena on-off akibat penggunaan levodopa jangka panjang. Studi menunjukkan bahwa DBS mampu mengurangi fluktuasi motorik, menurunkan dosis obat yang diperlukan, serta secara keseluruhan meningkatkan kualitas hidup survivor Parkinson [2]. Dengan demikian, DBS menjadi harapan baru untuk para survivor Parkinson.
Efek Samping dari Pengobatan Parkinson
Meskipun efektif, levodopa juga memiliki sejumlah efek samping, terutama ketika digunakan dalam jangka panjang. Salah satu efek samping yang paling umum adalah dyskinesia, yaitu gerakan tubuh yang tidak terkendali dan tidak diinginkan. Selain itu, penggunaan obat levodopa dapat menyebabkan fluktuasi motorik, misalnya fenomena wearing off di mana efek obat cepat habis sebelum dosis berikutnya, atau on-off phenomenon berupa perubahan mendadak dari kondisi dapat bergerak ke tidak dapat bergerak. Pada awal terapi, gangguan gastrointestinal seperti mual, muntah, dan penurunan nafsu makan juga sering dilaporkan. Lebih lanjut, penggunaan levodopa jangka panjang dapat mempengaruhi kondisi psikologis, misalnya munculnya halusinasi, delusi, atau perubahan mood yang signifikan [3]. Oleh karena itu, meskipun levodopa tetap menjadi standar emas terapi, penggunaannya harus terus dipantau dengan hati-hati.
Kesimpulan
Levodopa tetap menjadi terapi lini pertama dalam penanganan gejala motorik Parkinson berkat efektivitasnya yang tinggi. Sementara itu, DBS memberikan alternatif yang sangat bermanfaat bagi survivor Parkinson yang sudah mengalami keterbatasan respons terhadap obat. Meski demikian, penggunaan levodopa harus diawasi dengan ketat karena dapat menimbulkan efek samping, khususnya pada penggunaan jangka panjang. Pendekatan yang tepat dan personalisasi terapi sangat penting untuk memastikan kualitas hidup survivor Parkinson tetap terjaga.
Referensi
- Armstrong, M. J., & Okun, M. S. (2020). Diagnosis and treatment of Parkinson disease: A review. JAMA, 323(6), 548–560. https://doi.org/10.1001/jama.2019.22360
- Deuschl, G., Paschen, S., & Witt, K. (2020). Clinical outcome of deep brain stimulation for Parkinson’s disease. Handbook of Clinical Neurology, 166, 107–128. https://doi.org/10.1016/B978-0-444-64125-0.00007-0
- Oertel, W., & Schulz, J. B. (2019). Current and experimental treatments of Parkinson disease: A guide for neuroscientists. Journal of Neurochemistry, 150(5), 475–491. https://doi.org/10.1111/jnc.14813